Bab III Berdirinya Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia erdirinya Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia bersamaan dengan lahirnya kekuasaan baru di Indonesia. Kekuasaan Orde Lama di tangan Sukarno enar-benar hancur digantikan kekuasaan Suharto yang leh para sejarawan disebut sebagai Orde Baru. Pada bab rdahulu telah dibahas mengenai akar ideologi dan sejarah ewan Da'wah adalah Masyumi, baik sebagai federasi Umat lam sebelum Kemerdekaan maupun sebagai partai politik, aka lahirnya Dewan Da'wah juga tidak bisa dilepaskan ari dinamika politik ketika Orde Baru lahir. Walaupun mudian Dewan Da'wah tidak pernah secara langsung rjun dalam gelanggang politik praktis, bahkan hingga ma puluh tahun berikutnya, namun politik tetap akrab n menjadi perhatian organisasi ini. Oleh sebab itu, untuk emahami mengapa Dewan Da'wah hadir perlu dijelaskan lebih dahulu bagaimana situasi politik yang berada kitar kelahiran Dewan Da'wah dan sesudahnya. Orde Baru dan Usaha-Usaha Depolitisasi Umat Islam Depolitisasi umat Islam sudah bermula sejak zaman orde Lama, namun hanya dilakukan pada kelompok-kelompok yang menolak Nasakom. tegasnya terhadap kelompok yang konsisten mendukung Masyumi Umat yang menerimanya tetap diakomodasi dalam kekuasaa seperti NU dan PSII. Ketika rezim Orde Lama runtuh bergan dengan rezim Suharto yang menyebut dirinya sebagai o Baru, ternyata proses depolitisasi umat Islam malah semakin meluas NU yang semula menjadi mitra penguasa pada zaman Orde Lama, sedikit demi sedikit disingkirkan dari kekuasaan. Kekuasaan orde Baru diraih oleh Suharto melalui satu proses yang hampir mirip dengan sebuah kudeta, sekalipun kelihatannya tidak demikian. Drama peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru dipicu oleh apa yang dikenal sebagai "Gerakan 30 September 1965" kemudian berujung pada munculnya "Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (Supersemar)" yang akhirnya mengantarkan Suharto ke singgasana kekuasaan Indonesia melaui Sidang Umum Majelis Permusyawartan Rakyat Sementara (s tanggal 12 Maret 1967. (Riclefs, 2005: 575) Naiknya Suharto tidak lepas dari dukungan tentara, terutama Angkatan Darat, yang sangat dikecewakan oleh kebijakan Sukarno yang terlampau berpihak pada PKI yang menjadi musuh Angkatan Darat sejak pemberontakan Madiun 1948. Penculikan dan penganiayaan terhadap para perwira AD yang dituduh sebagai "Dewan Jendral" yang a melakukan kup terhadap Sukarno oleh PKI dan terjadinya serangkaian kerusuhan yang mengiringi peristiwa itu, terutama dari kelompok mahasiswa, pelajar dan kelompok-kelompok Islam, memberi legitimasi kepada tentara mengambil alih kekuasaan dari tangan Sukarno.
Dalam hal ini, Suharto-lah yang ditunjuk menjadi panglima Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban). Sebelumnya Suharto adalah panglima KOTT Komando Cadangan Strategis) AD. Supersemar yang diakui oleh Suharto sebagai mandat resmi dari Sukarno kepada dirinya semakin mengokohkan posisi Suharto. Langkah-langkah yang dilakukan Suharto mengundang simpati kelompok-kelompok yang selama ini menjadi musuh Sukarno dan disingkirkan dari lingkaran politik seperti Masyumi dan PSI. Simpati diperoleh karena Suharto bersama tentara dengan tegas melakukan langkah pembersihan terhadap PKI dan mampu menumbangkan kekuasaan Sukarno yang sejak lama sama-sama mereka inginkan. Oleh sebab itu, dengan sepenuh hati mereka mendukung langkah-langkah Suharto, termasuk saat Suharto naik menjadi Plt. Presiden RI menggantikan Sukarno tahun 1967. Tentara pun mendukung segala bentuk protes anti-PKI yang dilakukan oleh berbagai kalangan. Bahkan berbagai kelompk mahasiswa anti-PKI di-back up oleh tentara untuk turun ke jalan-jalan berdemonstrasi meneriakkan protes mereka kepada pemerintahan Sukarno dan PKI. Muncullah kesatuan-kesatuan aksi seperti KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang dimotori oleh organisasi mahasiswa seperti HMI, PMKRI, dan eks. Psi. Muncul juga KAPPI (Kesatuan Aksi Pelajar Pemuda Indonesia) dan KASI Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia) yang kedua-duanya dimotori oleh para simpatisan Masyumi dan PSI. Kelompok ini menamakan diri mereka sebagai "Angkatan 66". (Riclefs, 2005: 564-565; Bolland, 1985: 148)
Kelompok-kelompok Islam seperti Masyumi pada mulanya merasa akan kembali dapat berperan seperti pada zaman zaman sebelumnya di bawah kepemimpinan Suharto Ternyata dugaan mereka meleset sama sekali. Suharto hanya berkepentingan menyingkirkan PKI dari panggung politik Indonesia. Kekuatan-kekuatan massa anti-PKIadalah sumber legitimasi kuat untuk mengeksekusi keinginannya itu karena bagi umumnya kalangan Islam berperang melawan PKI adalah salah satu bentuk Perang Fi Sabilillah (Perang Suci). Akan tetapi, pada saat yang sama, Suharto pun tidak merasa aman terhadap kelompok-kelompok Islam. Rupanya Suharto ingin menerapkan strategi rust en orde (stabilitas dan pembangunan). Siapa saja orang atau kelompok yang berpotensi menciptakan nrust (kacau tidak terkendali) yang bisa menghambat laju pembangunan yang diinginkan akan disingkirkan. PKI sebagai musuh tradisional ABRI sudah dibersihkan sementara para pemimpin Masyumi dinilai potensial menimbulkan siatuasi nrust sikap mereka yang sangat kritis dan keterlibatan sebagiannya dalam PRRI. Oleh sebab itu, sekalipun pada awalnya mereka mendukung gerakan Orde Baru, namun Suharto tidak ingin ambil resiko terjadi kekisruhan politik seperti masa-masa sebelumnya. Selain terhadap Masyumi, hal yang sama ia juga pada aktivis-aktivis PSI yang tidak mau bersikap lunak. Keinginan merehabilitasi Masyumi oleh mantan pemimpin Mas dikabulkan oleh seperti Nas dan Roem tidak mengizinkan Suharto. Seb kompensasi, Suharto didirikan Partai Muslimin Indonesia (PMI
atau oleh Parmusi). Akan tetapi, partai ini tidak boleh dipimpin mantan mantan pemimpin Masyumi. Bahkan oleh Muhammad Roem sekalipun yang tidak ikut terlibat dalam PRRI di Sumatera Barat. (Bolland, 1985: 159). Sikap hati- hati ini juga terutama dipicu oleh kekhawatiran Suharto terhadap para pemimpin Masyumi yang telah memiliki watak "pemberontak" (Riclefs, 2005: 579). Bukan hanya tidak merehabilitasi Masyumi, peran NU yang pada masa-masa sebelumnya masih bisa mewakili kelompok Islam pentas politik pun tidak seleluasa sebelumnya dan keberadaannya terus ditekan agar tidak mengancam kekuasaan Suharto sama seperti terhadap PNI dan unsur-unsur pendukung Orde Lama yang lain. Namun demikian, tekanan terhadap NU tidak sekeras terhadap para pemimpin Mayumi. NU dianggap masih dapat berkompromi dan tidak terlalu berbahaya. (Riclefs, 2005: 579). Barangkali hal itu disebabkan watak NU yang bukan "pemberontak" dan tidak memiliki catatan buruk sebagai "pemban penguasa. Kebijakan peminggiran politik para aktivis Muslim dan aktivis-aktivis politik masa lalu yang berbasis ideologi seperti PKI, PSI, dan kan PNI merupakan upaya Suharto Bentuk-bentuk tekanan terhadap aktivitas politik NU relatif lebih ringan dibandingkan terhadap Masyumi. Bila Masyumi tidak diberi kesempatan untuk rahabilitasi dan para pemimpinnya dilarang memimpin partai baru ang akan didirikan, yaitu Partai Muslimin Indonesia, maka NU hanya mengalami pembersihan melalui opsus (Operasi Khusus) terhadap Muchammad Dahlan dan Subhan Z.E. yang dinilai kritis dan berbahaya bagi kekuasaansuharto Kedua orang itu disingkirkan dari kepemimpinan NU tahun 1972 (Latif, 2005:484)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar